Hari ketiga di Jogja saya dan Muti berencana keliling
sekitaran Keraton aja, yaa yang masih bisa terjangkau dengan Trans Jogja.
Dimulai di pagi hari yang sebenernya masih belum bisa sepenuhnya move on dari nonton Ramayana semalem :p
, dengan agak malas kita siap-siap dan singkat kata jam 8 kita sudah siap untuk
sarapan lalu mulai jalan lagi.
Begitu keluar Hotel, seperti sudah bisa ditebak ada tukang
becak nyamperin kami. Ohya, ada
perihal tukang becak yang perlu diwaspadai (halah bahasanya). Jauh-jauh hari
memang sudah diwanti-wanti “kalo naik becak di Jogja dan ditawarin kemana-mana
bilang aja enggak, karena nanti biasanya diajak ke toko langganannya dia”. Ya,
kalo memang pas kita mau beli oleh-oleh dan belum ada preferensi sih nggak apa
apa ya, tapi kalo kita udah punya preferensi sendiri terus dipaksa-paksa ikut
pilihan dia kan menyebalkan.
|
Suasana Jogja yang bikin jatuh hati |
Oke, lanjut. Begitu kami disamperin
tukang becak, terjadilah tawar menawar ongkos ke Keraton. Sang tukang becak menawarkan
jasa bentor (becak motor) seharga Rp.50.000 untuk
Malioboro-Keraton-Tamansari-Malioboro (jadi bentornya nungguin kita). Muti
bisik-bisik ke saya bilang, “emang harganya segituan sih. Tadi udah browsing”
Ahaha~. Nah, persis seperti yang tadi saya katakan, sang tukang becak mulai
proaktif menawarkan “Kalo sekalian mau beli oleh-oleh mbak, kaos, bla bla.”
Dengan halus kami menolak dan bilang bahwa kami buru-buru (emang nggak bohong
juga sih karena jam setengah dua belas rencana nya mau diajak makan sama om
saya yang baru saya sambangi hari kemarin.hehehe)
|
Tiket Masuk |
|
Gerbang menuju kompleks Keraton |
|
Pintu Masuk |
|
Bangsal Kencana |
Akhirnya sampailah kami di keraton yang lewat pintu samping.
Dengan tiket + ijin bawa kamera seharga Rp.6.000,- kami pun masuk keraton.
Untung kami sampai disitu belum terlalu siang jadi masih nggak terlalu ramai.
Begitu masuk pintu keraton, ada satu bangsal gedeee banget dan ada peringatan
wisatawan nggak boleh naik/masuk kesitu. Ternyata itu Bangsal Kencana yang
biasa dipakai untuk acara-acara penting. Katanya acara pernikahan GKR Hayu dan
KPH Notonegoro kemarin juga memakai bangsal ini. Ohiya waktu kami masuk
pandangan saya menangkap siluet seorang abdi dalem yang sedang duduk bersila di
pekarangan yang beralaskan pasir itu, seperti sedang melakukan ritual doa. Agak
kepo mau foto tapi rasanya nggak sopan ya. Dan untung aja belum ambil foto,
karena nggak lama saya jug abaca tulisan dilarang ambil foto dengan latar abdi
dalem yang sedang berdoa.
|
Meja Kerja HB IX |
Berhubung di keraton saya dan Muti jalan sendiri (nggak ada
guide), jadi agak menebak-nebak juga sih spot yang bisa diceritakan. Tapi ada
satu spot yang ternyata itu museum barang-barang Sultan Hamengkubuwono IX. Dari
mulai baju, perlengkapan Beliau, kursi, meja kerja,sampai kamera dan peralatan
masak masih disimpan disini. HB IX menjabat di periode Kemerdekaan Indonesia. Kiprah Beliau sangat banyak dan Beliau dikenal sangat aktif. Beliau juga dikenal senang olahraga, sampai ada timbangan Beliau yang disimpan di museum ini.
|
Salah satu Peralatan Jamuan Makan |
|
Bumbu&Peralatan Masak HB IX |
Ohya yang menarik juga, banyak koleksi peralatan makan yang
dipakai raja-raja ataupun pangeran untuk menjamu tamunya. Tiap Raja/Pangeran
punya koleksinya sendiri. Pun dengan tulisan yang sempat saya baca di salah
satu sudut bangunan, bertuliskan Hamengkubuwono VIII. Kayaknya tiap
karya/peninggalan Sultan itu di”tandai” begitu ya.
Ada satu pahatan tulisan Sultan HB IX yang saya suka,
bunyinya begini “Al Heb Ik Een Uitgesproken Westerse Opvoeding Gehad, Toch Ben
En Blijf Ik In De Allereerste Plaats Javaan” (Walaupun Saya telah mengenyam
pendidikan Barat yang sebenarnya, namun pertama-tama saya adalah dan tetap
adalah Orang Jawa). Jadi nggak seperti kacang lupa kulitnya gitu :D
Setelah dari Keraton kami yang mengejar waktu memutuskan
untuk ke Tamansari. Tamansari itu konon tempat pemandian Putri Keraton jaman
dahulu dan tempat rekreasinya Keluarga Sultan
. Kami menghampiri bentor yang kami naiki tadi. Sepintas kami mendengar
si bapak bentor ngobrol dengan teman sesama penarik bentor. Mungkin maksudnya
bercanda ya (atau entah karena mereka menganggap kami nggak ngerti bahasa
jawa), dibilang nya kami bintitan mau ke tempat pemandian, padahal di rumah
juga ada tempat pemandian. Agak kesal tapi yasudahlah, kami naik ke bentor.
Ternyata ke-kekeuh-an Bapak Bentor masih berlanjut. Di tengah jalan kami
merasakan laju bentor yang mulai melambat dan sedikit berhenti. Saya baru aja
nanya Muti “emang ini udah sampe ya?” pas Bapak Bentor bilang “Kalau mau
sekalian liat-liat cari oleh-oleh” dan baru sadar di sekitar tempat kami
berhenti memang berjejer toko oleh-oleh. *Duh!* Dengan sabar dan nggak kalah
kekeuh kami bilang enggak, kami lagi ngejar waktu ada janji. Oke, abis itu
bentor jalan lagi.
Sampai di Tamansari kami sempat galau mau ikut guide apa
enggak, karena katanya bagusnya kalau di Tamansari pake guide, mengingat
tempatnya yang berliku dan beririsan dengan perumahan penduduk. Semacam banyak
jalan tikus gitu kayanya. Tapi karena waktu mepet jadinya kami masuk sendiri
(setelah tadinya berniat ngintilin salah satu rombongan tur dan ternyata
rombongan itu udah mau pulang).
Di Tamansari nggak banyak spot yang kami datangi, tapi yang
cukup menarik adalah sebuah bilik yang katanya itu merupakan tempat ganti
baju/kamar. Pintunya yang kecil membuat kita harus menundukkan kepala kalo mau
masuk. Ternyata ini memang disengaja. Katanya filosofinya adalah kita harus
sopan santun (menunduk), yang sampai sekarang masih nyata prakteknya misalnya
kita lewat didepan orang yang lebih tua, pasti kita bilang “permisi” nya sambil
agak merunduk gitu kan.Hehe
|
perlu merunduk untuk keluar |
Setelah dari Tamansari, kami bersiap pulang ke hotel karena
janjian makan siang dengan Saudara saya. Agak susah juga lho cari jalan
keluarnya (pantes perlu pake guide ya), tapi kami berpedoman nanya penduduk
situ aja *gak mau rugi*. Pas kami sampai di tempat bapak bentor yang sudah
menunggu, ke-kekeuh-an si Bapak bentor mulai lagi. Sebelum kami sempat naik ke
atas becak, si Bapak mohon maaf sebelumnya lantas berkata bahwa dia baru saja
ditelpon oleh salah satu tempat (merk) terkenal di Jogja, katanya disuruh ambil
zakat yang belum diambil. Jadi si Bapak minta izin untuk mampir kesana untuk
ambil zakat,dan *again* dia bilang “Kalau mau sekalian liat-liat cari
oleh-oleh”. Okesip. Bukannya nggak punya hati nurani, bukannya bermaksud nggak
berbagi rezeki. Kita juga tau lah niatnya baik juga, cari rezeki halal, sekali –
dua kali okelah, tapi kalo kesannya jadi maksa banget kan bikin orang nggak
nyaman. Padahal kalo memang kita butuh dan tertarik pasti mau juga diajak ke
tempat referensinya, tapi ini jadi menyebalkan aja gitu lho jatuhnya. Terlebih lagi
kan dari awal kita bilang waktu kita mepet jadi bukannya nggak ada alasan untuk
menolak. Yah sudahlah~ akhirnya kita mengiyakan dan bilang lagi bahwa kita
nggak bisa lama-lama karena ada janji. Pas sampai di tempat yang dimaksud,
dengan nggak kalah kekeuh kita bilang nunggu di becak aja, jadi nggak turun
untuk liat-liat atau apalah itu. Sampai di hotel untungnya Saudara saya belum
datang jadi bisa leha-leha sebentar di lobi. Waktu saudara saya dateng dan kita
pergi makan, sepintas saya lihat si Bapak bentor sigap mau nawarin becak tapi
urung karena kita bawa kendaraan. *Nah kan Pak, saya nggak bohong kan..
Next: "Fall In Love With Jogja - Day 3 (part 2)"