Sunday, December 08, 2013

Fall in Love with Jogja - Day 3 (part 2)

Melanjutkan posting sebelumnya, setelah kemarin nyobain Kalimilk dan Bakmi Kadin, kali ini kami makan di tempat yang namanya “Rumah Pohon”. Alhamdulillah ditraktir beginian,hahaha~.
Rumah Pohon
Tempatnya cukup unik karena desainnya dari bamboo yang dibikin bertingkat-tingkat. Jadi kalo mau makan disini pastikan tidak memakai baju atau sandal yang ribet karena bakal naik-naik tangga, dan tidak disarankan membawa orang yang sudah cukup sepuh kesini. Di tingkat paling atas tempat makan ini adalah “Gardu Pandang” yang katanya bisa melihat pemandangan kota Jogja dan Merapi. Sayang waktu kesana lagi agak berkabut jadi Merapinya nggak kelihatan. Disini juga ada tempat meditasi, kata saudara saya kalau tempat meditasi nya itu lagi dipake orang, akses ke Gardu Pandang ditutup. Dari segi makanan, Rumah Pohon ini lumayan, saya coba makan Nasi Gendheng sama icip-icip lauk lainnya. Yaa.. biasa sih, cukup enak.
Sehabis makan siang, tadinya kami mau diajak ke taman buah *tapi nggak jadi karena konon katanya belum berbuah*, jadilah kami melanjutkan agenda kami dan agak disesuaikan. Setelah mampir dulu ke Mirota, kami melanjutkan perjalanan ke Taman Pintar. Tadinya sih mau masuk tapi ternyata nggak keburu, jadilah kita foto-foto saja. Spot yang menarik adalah adanya cap tangan dan kaki dari Presiden RI, plus ada quote masing-masing. Dari enam quote, satu yang paling saya suka adalah dari Alm.Gus Dur: “Jadilah dirimu sendiri.”  Singkat, padat, nggak ada kalimat berbunga-bunga dengan bahasa dewa tapi bermakna . :D
Selain itu disini ada Gong perdamaian dunia, tertulis katanya disitu tertanam tanah dari 33 Propinsi. Filosofinya supaya Indonesia rukun selalu ya.. kaya slogan Bhinneka Tunggal Ika.

Menjelang malam kami akhirnya mampir ke Raminten yang sebelumnya batal kami kunjungi. Ternyata masih antri juga walaupun antriannya lebih manusiawi dibanding hari sebelumnya kami kesana. Disana kami memesan Nasi Kucing dan tambahan lauk *jauh-jauh mesennya Nasi Kucing, gapapa lah yaa*

Selanjutnya kami nyobain Armani Gelato – yang kata Muti satu-satunya gelato di Jogja-
Setelah menghabiskan waktu yang singkat di Jogja, keesokan harinya harus kembali menghadapi kesibukan ibu kota. Kali ini saya nyobain flight nya Batik Air. Cukup enak kaya Garuda, Cuma satu sayangnya: headset nya mesti beli. Agak lucu sih, disediain layar hiburan tapi headsetnya suruh beli =P.


Dengan ini selesailah postingan saya edisi Jogja kali ini. Lain kali tentu saya masih mau explore Jogja lagi dan daerah Indonesia lainnya :)

Fall in Love with Jogja – Day 3

Hari ketiga di Jogja saya dan Muti berencana keliling sekitaran Keraton aja, yaa yang masih bisa terjangkau dengan Trans Jogja. Dimulai di pagi hari yang sebenernya masih belum bisa sepenuhnya move on dari nonton Ramayana semalem :p , dengan agak malas kita siap-siap dan singkat kata jam 8 kita sudah siap untuk sarapan lalu mulai jalan lagi.

Begitu keluar Hotel, seperti sudah bisa ditebak ada tukang becak nyamperin kami. Ohya, ada perihal tukang becak yang perlu diwaspadai (halah bahasanya). Jauh-jauh hari memang sudah diwanti-wanti “kalo naik becak di Jogja dan ditawarin kemana-mana bilang aja enggak, karena nanti biasanya diajak ke toko langganannya dia”. Ya, kalo memang pas kita mau beli oleh-oleh dan belum ada preferensi sih nggak apa apa ya, tapi kalo kita udah punya preferensi sendiri terus dipaksa-paksa ikut pilihan dia kan menyebalkan.
Suasana Jogja yang bikin jatuh hati
Oke, lanjut. Begitu kami disamperin tukang becak, terjadilah tawar menawar ongkos ke Keraton. Sang tukang becak menawarkan jasa bentor (becak motor) seharga Rp.50.000 untuk Malioboro-Keraton-Tamansari-Malioboro (jadi bentornya nungguin kita). Muti bisik-bisik ke saya bilang, “emang harganya segituan sih. Tadi udah browsing” Ahaha~. Nah, persis seperti yang tadi saya katakan, sang tukang becak mulai proaktif menawarkan “Kalo sekalian mau beli oleh-oleh mbak, kaos, bla bla.” Dengan halus kami menolak dan bilang bahwa kami buru-buru (emang nggak bohong juga sih karena jam setengah dua belas rencana nya mau diajak makan sama om saya yang baru saya sambangi hari kemarin.hehehe)
Tiket Masuk

Gerbang menuju kompleks Keraton
Pintu Masuk



Bangsal Kencana

Akhirnya sampailah kami di keraton yang lewat pintu samping. Dengan tiket + ijin bawa kamera seharga Rp.6.000,- kami pun masuk keraton. Untung kami sampai disitu belum terlalu siang jadi masih nggak terlalu ramai. Begitu masuk pintu keraton, ada satu bangsal gedeee banget dan ada peringatan wisatawan nggak boleh naik/masuk kesitu. Ternyata itu Bangsal Kencana yang biasa dipakai untuk acara-acara penting. Katanya acara pernikahan GKR Hayu dan KPH Notonegoro kemarin juga memakai bangsal ini. Ohiya waktu kami masuk pandangan saya menangkap siluet seorang abdi dalem yang sedang duduk bersila di pekarangan yang beralaskan pasir itu, seperti sedang melakukan ritual doa. Agak kepo mau foto tapi rasanya nggak sopan ya. Dan untung aja belum ambil foto, karena nggak lama saya jug abaca tulisan dilarang ambil foto dengan latar abdi dalem yang sedang berdoa.
Meja Kerja HB IX
 Berhubung di keraton saya dan Muti jalan sendiri (nggak ada guide), jadi agak menebak-nebak juga sih spot yang bisa diceritakan. Tapi ada satu spot yang ternyata itu museum barang-barang Sultan Hamengkubuwono IX. Dari mulai baju, perlengkapan Beliau, kursi, meja kerja,sampai kamera dan peralatan masak masih disimpan disini. HB IX menjabat di periode Kemerdekaan Indonesia. Kiprah Beliau sangat banyak dan Beliau dikenal sangat aktif. Beliau juga dikenal senang olahraga, sampai ada timbangan Beliau yang disimpan di museum ini.


Salah satu Peralatan Jamuan Makan
Bumbu&Peralatan Masak HB IX

Ohya yang menarik juga, banyak koleksi peralatan makan yang dipakai raja-raja ataupun pangeran untuk menjamu tamunya. Tiap Raja/Pangeran punya koleksinya sendiri. Pun dengan tulisan yang sempat saya baca di salah satu sudut bangunan, bertuliskan Hamengkubuwono VIII. Kayaknya tiap karya/peninggalan Sultan itu di”tandai” begitu ya.

Ada satu pahatan tulisan Sultan HB IX yang saya suka, bunyinya begini “Al Heb Ik Een Uitgesproken Westerse Opvoeding Gehad, Toch Ben En Blijf Ik In De Allereerste Plaats Javaan” (Walaupun Saya telah mengenyam pendidikan Barat yang sebenarnya, namun pertama-tama saya adalah dan tetap adalah Orang Jawa). Jadi nggak seperti kacang lupa kulitnya gitu :D

Setelah dari Keraton kami yang mengejar waktu memutuskan untuk ke Tamansari. Tamansari itu konon tempat pemandian Putri Keraton jaman dahulu dan tempat rekreasinya Keluarga Sultan 
. Kami menghampiri bentor yang kami naiki tadi. Sepintas kami mendengar si bapak bentor ngobrol dengan teman sesama penarik bentor. Mungkin maksudnya bercanda ya (atau entah karena mereka menganggap kami nggak ngerti bahasa jawa), dibilang nya kami bintitan mau ke tempat pemandian, padahal di rumah juga ada tempat pemandian. Agak kesal tapi yasudahlah, kami naik ke bentor. Ternyata ke-kekeuh-an Bapak Bentor masih berlanjut. Di tengah jalan kami merasakan laju bentor yang mulai melambat dan sedikit berhenti. Saya baru aja nanya Muti “emang ini udah sampe ya?” pas Bapak Bentor bilang “Kalau mau sekalian liat-liat cari oleh-oleh” dan baru sadar di sekitar tempat kami berhenti memang berjejer toko oleh-oleh. *Duh!* Dengan sabar dan nggak kalah kekeuh kami bilang enggak, kami lagi ngejar waktu ada janji. Oke, abis itu bentor jalan lagi.
Sampai di Tamansari kami sempat galau mau ikut guide apa enggak, karena katanya bagusnya kalau di Tamansari pake guide, mengingat tempatnya yang berliku dan beririsan dengan perumahan penduduk. Semacam banyak jalan tikus gitu kayanya. Tapi karena waktu mepet jadinya kami masuk sendiri (setelah tadinya berniat ngintilin salah satu rombongan tur dan ternyata rombongan itu udah mau pulang).
Di Tamansari nggak banyak spot yang kami datangi, tapi yang cukup menarik adalah sebuah bilik yang katanya itu merupakan tempat ganti baju/kamar. Pintunya yang kecil membuat kita harus menundukkan kepala kalo mau masuk. Ternyata ini memang disengaja. Katanya filosofinya adalah kita harus sopan santun (menunduk), yang sampai sekarang masih nyata prakteknya misalnya kita lewat didepan orang yang lebih tua, pasti kita bilang “permisi” nya sambil agak merunduk gitu kan.Hehe


perlu merunduk untuk keluar
Setelah dari Tamansari, kami bersiap pulang ke hotel karena janjian makan siang dengan Saudara saya. Agak susah juga lho cari jalan keluarnya (pantes perlu pake guide ya), tapi kami berpedoman nanya penduduk situ aja *gak mau rugi*. Pas kami sampai di tempat bapak bentor yang sudah menunggu, ke-kekeuh-an si Bapak bentor mulai lagi. Sebelum kami sempat naik ke atas becak, si Bapak mohon maaf sebelumnya lantas berkata bahwa dia baru saja ditelpon oleh salah satu tempat (merk) terkenal di Jogja, katanya disuruh ambil zakat yang belum diambil. Jadi si Bapak minta izin untuk mampir kesana untuk ambil zakat,dan *again* dia bilang “Kalau mau sekalian liat-liat cari oleh-oleh”. Okesip. Bukannya nggak punya hati nurani, bukannya bermaksud nggak berbagi rezeki. Kita juga tau lah niatnya baik juga, cari rezeki halal, sekali – dua kali okelah, tapi kalo kesannya jadi maksa banget kan bikin orang nggak nyaman. Padahal kalo memang kita butuh dan tertarik pasti mau juga diajak ke tempat referensinya, tapi ini jadi menyebalkan aja gitu lho jatuhnya. Terlebih lagi kan dari awal kita bilang waktu kita mepet jadi bukannya nggak ada alasan untuk menolak. Yah sudahlah~ akhirnya kita mengiyakan dan bilang lagi bahwa kita nggak bisa lama-lama karena ada janji. Pas sampai di tempat yang dimaksud, dengan nggak kalah kekeuh kita bilang nunggu di becak aja, jadi nggak turun untuk liat-liat atau apalah itu. Sampai di hotel untungnya Saudara saya belum datang jadi bisa leha-leha sebentar di lobi. Waktu saudara saya dateng dan kita pergi makan, sepintas saya lihat si Bapak bentor sigap mau nawarin becak tapi urung karena kita bawa kendaraan. *Nah kan Pak, saya nggak bohong kan..

Next: "Fall In Love With Jogja - Day 3 (part 2)"

Sunday, December 08, 2013

Fall in Love with Jogja - Day 3 (part 2)

Melanjutkan posting sebelumnya, setelah kemarin nyobain Kalimilk dan Bakmi Kadin, kali ini kami makan di tempat yang namanya “Rumah Pohon”. Alhamdulillah ditraktir beginian,hahaha~.
Rumah Pohon
Tempatnya cukup unik karena desainnya dari bamboo yang dibikin bertingkat-tingkat. Jadi kalo mau makan disini pastikan tidak memakai baju atau sandal yang ribet karena bakal naik-naik tangga, dan tidak disarankan membawa orang yang sudah cukup sepuh kesini. Di tingkat paling atas tempat makan ini adalah “Gardu Pandang” yang katanya bisa melihat pemandangan kota Jogja dan Merapi. Sayang waktu kesana lagi agak berkabut jadi Merapinya nggak kelihatan. Disini juga ada tempat meditasi, kata saudara saya kalau tempat meditasi nya itu lagi dipake orang, akses ke Gardu Pandang ditutup. Dari segi makanan, Rumah Pohon ini lumayan, saya coba makan Nasi Gendheng sama icip-icip lauk lainnya. Yaa.. biasa sih, cukup enak.
Sehabis makan siang, tadinya kami mau diajak ke taman buah *tapi nggak jadi karena konon katanya belum berbuah*, jadilah kami melanjutkan agenda kami dan agak disesuaikan. Setelah mampir dulu ke Mirota, kami melanjutkan perjalanan ke Taman Pintar. Tadinya sih mau masuk tapi ternyata nggak keburu, jadilah kita foto-foto saja. Spot yang menarik adalah adanya cap tangan dan kaki dari Presiden RI, plus ada quote masing-masing. Dari enam quote, satu yang paling saya suka adalah dari Alm.Gus Dur: “Jadilah dirimu sendiri.”  Singkat, padat, nggak ada kalimat berbunga-bunga dengan bahasa dewa tapi bermakna . :D
Selain itu disini ada Gong perdamaian dunia, tertulis katanya disitu tertanam tanah dari 33 Propinsi. Filosofinya supaya Indonesia rukun selalu ya.. kaya slogan Bhinneka Tunggal Ika.

Menjelang malam kami akhirnya mampir ke Raminten yang sebelumnya batal kami kunjungi. Ternyata masih antri juga walaupun antriannya lebih manusiawi dibanding hari sebelumnya kami kesana. Disana kami memesan Nasi Kucing dan tambahan lauk *jauh-jauh mesennya Nasi Kucing, gapapa lah yaa*

Selanjutnya kami nyobain Armani Gelato – yang kata Muti satu-satunya gelato di Jogja-
Setelah menghabiskan waktu yang singkat di Jogja, keesokan harinya harus kembali menghadapi kesibukan ibu kota. Kali ini saya nyobain flight nya Batik Air. Cukup enak kaya Garuda, Cuma satu sayangnya: headset nya mesti beli. Agak lucu sih, disediain layar hiburan tapi headsetnya suruh beli =P.


Dengan ini selesailah postingan saya edisi Jogja kali ini. Lain kali tentu saya masih mau explore Jogja lagi dan daerah Indonesia lainnya :)

Fall in Love with Jogja – Day 3

Hari ketiga di Jogja saya dan Muti berencana keliling sekitaran Keraton aja, yaa yang masih bisa terjangkau dengan Trans Jogja. Dimulai di pagi hari yang sebenernya masih belum bisa sepenuhnya move on dari nonton Ramayana semalem :p , dengan agak malas kita siap-siap dan singkat kata jam 8 kita sudah siap untuk sarapan lalu mulai jalan lagi.

Begitu keluar Hotel, seperti sudah bisa ditebak ada tukang becak nyamperin kami. Ohya, ada perihal tukang becak yang perlu diwaspadai (halah bahasanya). Jauh-jauh hari memang sudah diwanti-wanti “kalo naik becak di Jogja dan ditawarin kemana-mana bilang aja enggak, karena nanti biasanya diajak ke toko langganannya dia”. Ya, kalo memang pas kita mau beli oleh-oleh dan belum ada preferensi sih nggak apa apa ya, tapi kalo kita udah punya preferensi sendiri terus dipaksa-paksa ikut pilihan dia kan menyebalkan.
Suasana Jogja yang bikin jatuh hati
Oke, lanjut. Begitu kami disamperin tukang becak, terjadilah tawar menawar ongkos ke Keraton. Sang tukang becak menawarkan jasa bentor (becak motor) seharga Rp.50.000 untuk Malioboro-Keraton-Tamansari-Malioboro (jadi bentornya nungguin kita). Muti bisik-bisik ke saya bilang, “emang harganya segituan sih. Tadi udah browsing” Ahaha~. Nah, persis seperti yang tadi saya katakan, sang tukang becak mulai proaktif menawarkan “Kalo sekalian mau beli oleh-oleh mbak, kaos, bla bla.” Dengan halus kami menolak dan bilang bahwa kami buru-buru (emang nggak bohong juga sih karena jam setengah dua belas rencana nya mau diajak makan sama om saya yang baru saya sambangi hari kemarin.hehehe)
Tiket Masuk

Gerbang menuju kompleks Keraton
Pintu Masuk



Bangsal Kencana

Akhirnya sampailah kami di keraton yang lewat pintu samping. Dengan tiket + ijin bawa kamera seharga Rp.6.000,- kami pun masuk keraton. Untung kami sampai disitu belum terlalu siang jadi masih nggak terlalu ramai. Begitu masuk pintu keraton, ada satu bangsal gedeee banget dan ada peringatan wisatawan nggak boleh naik/masuk kesitu. Ternyata itu Bangsal Kencana yang biasa dipakai untuk acara-acara penting. Katanya acara pernikahan GKR Hayu dan KPH Notonegoro kemarin juga memakai bangsal ini. Ohiya waktu kami masuk pandangan saya menangkap siluet seorang abdi dalem yang sedang duduk bersila di pekarangan yang beralaskan pasir itu, seperti sedang melakukan ritual doa. Agak kepo mau foto tapi rasanya nggak sopan ya. Dan untung aja belum ambil foto, karena nggak lama saya jug abaca tulisan dilarang ambil foto dengan latar abdi dalem yang sedang berdoa.
Meja Kerja HB IX
 Berhubung di keraton saya dan Muti jalan sendiri (nggak ada guide), jadi agak menebak-nebak juga sih spot yang bisa diceritakan. Tapi ada satu spot yang ternyata itu museum barang-barang Sultan Hamengkubuwono IX. Dari mulai baju, perlengkapan Beliau, kursi, meja kerja,sampai kamera dan peralatan masak masih disimpan disini. HB IX menjabat di periode Kemerdekaan Indonesia. Kiprah Beliau sangat banyak dan Beliau dikenal sangat aktif. Beliau juga dikenal senang olahraga, sampai ada timbangan Beliau yang disimpan di museum ini.


Salah satu Peralatan Jamuan Makan
Bumbu&Peralatan Masak HB IX

Ohya yang menarik juga, banyak koleksi peralatan makan yang dipakai raja-raja ataupun pangeran untuk menjamu tamunya. Tiap Raja/Pangeran punya koleksinya sendiri. Pun dengan tulisan yang sempat saya baca di salah satu sudut bangunan, bertuliskan Hamengkubuwono VIII. Kayaknya tiap karya/peninggalan Sultan itu di”tandai” begitu ya.

Ada satu pahatan tulisan Sultan HB IX yang saya suka, bunyinya begini “Al Heb Ik Een Uitgesproken Westerse Opvoeding Gehad, Toch Ben En Blijf Ik In De Allereerste Plaats Javaan” (Walaupun Saya telah mengenyam pendidikan Barat yang sebenarnya, namun pertama-tama saya adalah dan tetap adalah Orang Jawa). Jadi nggak seperti kacang lupa kulitnya gitu :D

Setelah dari Keraton kami yang mengejar waktu memutuskan untuk ke Tamansari. Tamansari itu konon tempat pemandian Putri Keraton jaman dahulu dan tempat rekreasinya Keluarga Sultan 
. Kami menghampiri bentor yang kami naiki tadi. Sepintas kami mendengar si bapak bentor ngobrol dengan teman sesama penarik bentor. Mungkin maksudnya bercanda ya (atau entah karena mereka menganggap kami nggak ngerti bahasa jawa), dibilang nya kami bintitan mau ke tempat pemandian, padahal di rumah juga ada tempat pemandian. Agak kesal tapi yasudahlah, kami naik ke bentor. Ternyata ke-kekeuh-an Bapak Bentor masih berlanjut. Di tengah jalan kami merasakan laju bentor yang mulai melambat dan sedikit berhenti. Saya baru aja nanya Muti “emang ini udah sampe ya?” pas Bapak Bentor bilang “Kalau mau sekalian liat-liat cari oleh-oleh” dan baru sadar di sekitar tempat kami berhenti memang berjejer toko oleh-oleh. *Duh!* Dengan sabar dan nggak kalah kekeuh kami bilang enggak, kami lagi ngejar waktu ada janji. Oke, abis itu bentor jalan lagi.
Sampai di Tamansari kami sempat galau mau ikut guide apa enggak, karena katanya bagusnya kalau di Tamansari pake guide, mengingat tempatnya yang berliku dan beririsan dengan perumahan penduduk. Semacam banyak jalan tikus gitu kayanya. Tapi karena waktu mepet jadinya kami masuk sendiri (setelah tadinya berniat ngintilin salah satu rombongan tur dan ternyata rombongan itu udah mau pulang).
Di Tamansari nggak banyak spot yang kami datangi, tapi yang cukup menarik adalah sebuah bilik yang katanya itu merupakan tempat ganti baju/kamar. Pintunya yang kecil membuat kita harus menundukkan kepala kalo mau masuk. Ternyata ini memang disengaja. Katanya filosofinya adalah kita harus sopan santun (menunduk), yang sampai sekarang masih nyata prakteknya misalnya kita lewat didepan orang yang lebih tua, pasti kita bilang “permisi” nya sambil agak merunduk gitu kan.Hehe


perlu merunduk untuk keluar
Setelah dari Tamansari, kami bersiap pulang ke hotel karena janjian makan siang dengan Saudara saya. Agak susah juga lho cari jalan keluarnya (pantes perlu pake guide ya), tapi kami berpedoman nanya penduduk situ aja *gak mau rugi*. Pas kami sampai di tempat bapak bentor yang sudah menunggu, ke-kekeuh-an si Bapak bentor mulai lagi. Sebelum kami sempat naik ke atas becak, si Bapak mohon maaf sebelumnya lantas berkata bahwa dia baru saja ditelpon oleh salah satu tempat (merk) terkenal di Jogja, katanya disuruh ambil zakat yang belum diambil. Jadi si Bapak minta izin untuk mampir kesana untuk ambil zakat,dan *again* dia bilang “Kalau mau sekalian liat-liat cari oleh-oleh”. Okesip. Bukannya nggak punya hati nurani, bukannya bermaksud nggak berbagi rezeki. Kita juga tau lah niatnya baik juga, cari rezeki halal, sekali – dua kali okelah, tapi kalo kesannya jadi maksa banget kan bikin orang nggak nyaman. Padahal kalo memang kita butuh dan tertarik pasti mau juga diajak ke tempat referensinya, tapi ini jadi menyebalkan aja gitu lho jatuhnya. Terlebih lagi kan dari awal kita bilang waktu kita mepet jadi bukannya nggak ada alasan untuk menolak. Yah sudahlah~ akhirnya kita mengiyakan dan bilang lagi bahwa kita nggak bisa lama-lama karena ada janji. Pas sampai di tempat yang dimaksud, dengan nggak kalah kekeuh kita bilang nunggu di becak aja, jadi nggak turun untuk liat-liat atau apalah itu. Sampai di hotel untungnya Saudara saya belum datang jadi bisa leha-leha sebentar di lobi. Waktu saudara saya dateng dan kita pergi makan, sepintas saya lihat si Bapak bentor sigap mau nawarin becak tapi urung karena kita bawa kendaraan. *Nah kan Pak, saya nggak bohong kan..

Next: "Fall In Love With Jogja - Day 3 (part 2)"
 

Goresan Kalimatku Template by Ipietoon Cute Blog Design

Blogger Templates